Minggu, 27 Januari 2008

Arfin rose:

jarum jam yang berdetak di hatimu

jarum jam yang berdetak di hatimu
menyisakan ruang kosong yang diamdiam
kau siapkan entah untuk pemujaan apa
dan selalu tentang cinta, luka, dan kematian

langit-langit kusam di kamarmu
memberi jejak pada tiap cicak yang berkejaran
sesekali mencari jalan seorang diri
di tepian kata yang nyaris kehilangan eja

lalu kudapati dirimu tersudut di tepian malam
bagai sepasang bidadari terjebak di kedalaman hati
susah payah tampak kaucoba tuk mengingkari
apa yang telah tertulis jauh sebelum hening menyepakati

Yogyakarta, 5 November 2007



NOCTURNO

aku adalah lelaki yang sengaja disiapkan untuk dikalahkan malam
dan kawanan bintang tak henti-hentinya menggunjingku:

tentang janji yang kian tak terpenuhi
tentang percintaan yang tak pernah tuntas
tentang hati yang tak lelah menanti

hingga fajar selalu dapat menyelamatkanku
dari suara-suara sunyi yang tak terkelabui
atau mimpi-mimpi yang selalu menagih arti

dan aku akan terus melanjutkan pagi
dengan suasana hati yang kian tak pasti

Yogyakarta, 2008

TAHUN BARU: ANTARA RITUAL DAN REALITAS

TAHUN BARU: ANTARA RITUAL DAN REALITAS
Arfin Rose

Semua masih gelap di depan, tapi jangan mau membiarkan diri digilas sejarah. Mari justru mulai membuat sejarah...
Sindhunata

Mencoba menangkap kembali makna yang tersirat dalam perayaan tahun baru kemarin, sepertinya kita dipaksa untuk kembali mengingat dan mengulang serentetan ritual-ritual semu. Bagaimana tidak? Perayaan tahun baru di negeri kita selalu tentang terompet,kembang api, pesta, wanita,dan minuman. Memang setiap negara memiliki tradisi khusus dalam merayakan tahun baru di tempatnya, meski tak menampik kemungkinan bahwa di negara-negara lain acapkali membuat lelucon yang tak kalah menggelikannya. Fenomena yang terjadi sebenarnya sah-sah saja sebagai spirit ekspresi pembebasan dan ritual pergantian tahun, selagi semua anekdot itu dilakukan dalam takaran yang sewajarnya, tanpa justru mengurangi dan mengotori hakikat perayaan tahun baru itu sendiri. Mengingat dalam hal ini, tiap-tiap negara harus memiliki kontekstualitas yang jelas dan sesuai dengan kultur dan realitas yang sedang terjadi di negaranya.
Realitas indonesia pada penghujung 2007 kemarin adalah realitas air mata. Hal ini tak dapat dipungkiri lagi mengingat negeri ini sedang dilanda bencana banjir untuk kesekian kalinya, malahan bencana ini melebar hingga pada daerah-daerah yang semestinya bukan rawan banjir. Beberapa sungai besar yang ada di negeri ini meluap dan sepertinya beberapa bukit dan pegunungan juga sudah semakin gundul dan tak kuasa membendung aliran air yang ada yang pada akhirnya tragedi ini melumpuhkan beberapa titik di belahan bumi katulistiwa yang ijo royo-royo ini.
Kembali pada tahun baru, sepertinya pada perayaan tahun baru yang berlangsung kemarin masih sangat sulit kita jumpai beragam ungkapan dan ekspresi pelepasan tahun yang berlangsung mencerminkan sikap keprihatinan dan simpati sosial atas bencana yang sedang melanda bangsa ini. Perayaan pesta tahun baru di Ibukota misalnya, perayaan yang berlangsung di beberapa tempat seperti Ancol dan Monas sudah menghabiskan dana milliaran rupiah, dana ini tentu saja tak sebanding dengan subsidi yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk para korban banjir disana. Itu masih gambaran kasus yang terjadi di Jakarta, belum lagi di wilayah-wilayah lokal lainnya. Sepertinya negeri ini rela merogoh kocek milliaran rupiah untuk satu malam saja tanpa perlu ada lagi dialekektika tawar menawar dengan konstruk sosial yang terlanjur dianggap mapan ini.
Melihat fenomena yang terjadi, sepertinya masyarakat kita masih terjebak pada basa-basi seremoni dan ritual yang ada tanpa menghiraukan lagi nilai dan pesan moral yang akan tersampaikan, seperti mendengarkan sebuah musik: seringkali yang bermain dalam benak kita pada saat itu hanya satu dominasi saja, kita begitu dimabukkan oleh alunan irama musik saja tanpa perduli lagi dengan lirik yang ada, begitu juga sebaliknya. Karena pemahanan bawah sadar kita ternyata tidak pernah terlatih untuk memahami sebuah entitas secara keseluruhan.
Akhirnya tulisan ini tidak mencoba untuk meneriakkan suatu perubahan yang muluk-muluk, mungkin tulisan ini hanya luapan kebingungan setelah lelah berkeliling Jogja dan ternyata tak mampu merasakan entah apa yang dirasakan orang ramai pada saat itu yang tak lelah-lelahnya memadati setiap ruas jalan. Dan akhirnya tahun baru kemarin, penulis menghabiskan malam menyaksikan pagelaran wayang dengan sang pacar hingga larut pagi, semoga tak sia-sia……

Jogjakarta, 09 Januari 2008

ken arok VS empu gandring

Ken Arok Vs Empu Gandring
Oleh: Arfin Rose*

Dahulu kala, jika seorang Ken Arok melakukan kudeta kepada gurunya yakni Empu Gandring dengan dalih bahwa kesaktian keris yang diwariskan sang guru untuk si murid akan mampu menyerap segala kesaktian orang yang terhunus sebilah keris yang dibuatnya. Justru tanpa direkomendasikan terlebih dahulu, orang pertama yang dicantumkan si murid dalam daftar orang yang akan dibunuh tak lain adalah sang gurunya sendiri. Walhasil, akhirnya sang guru mati terbunuh oleh hasil karya-ciptanya sendiri.
Berpuluh-puluh abad telah berlalu dari kisah yang mengawali pembicaraan ini dan mungkin falsafah hidup, ideologi politik dan arus kebudayaan telah bergeser ribuan kali seiring berubah dan semakin bergelombangnya riak-riak zaman yang kian tak menentu hingga hari ini. Nilai-nilai yang ada telah direvisi, dipadukan, bahkan tak sedikit yang dibuang begitu saja bak meludah di derasnya aliran sungai Brantas. Dalam kebudayaan sendiri telah dikemas sedemikian beragamnya, nilai-nilai yang tertanam telah menjadi semacam kesepakatan bagi sebuah daerah baik dalam wilayah, lokal, regional, maupun internasional. Setiap daerah sekecil pedukuhan sekalipun mampu membuat dan menerapkan nilai-nilai kebudayaan yang ada dengan cara menciptakan sebuah karya cipta yang dianggap mampu mengidentifikasi lokalitas daerah tersebut, entah itu dalam wujud musik, tarian, kesusastraan, senjata adat, pakaian atau rumah adat, hingga makanan khas sekalipun setiap daerah mampu mengapresiasikan berdasarkan lokalitas kebudayaan yang melingkupi.
Adalah Malaysia (baca: Ken Arok) yang beberapa tahun silam putra daerahnya dikirim ke Indonesia (baca: Empu Gandring) untuk belajar berbagai nilai-nilai kehidupan Melayu dari berbagai aspeknya, dengan tujuan tentunya untuk mendalami dan mengukuhkan falsafah kehidupan bangsa Melayu sebagai tata nilai yang akan dijadikan Garis Besar Haluan Negara-nya si Ken Arok kelak. Sebagai sebuah negara yang awalnya bernaung pada satu ibu kebudayaan yang sama, yakni rumpun Melayu. Sebagaimana hikayat Ken Arok yang berambisi untuk mempersunting Ken Dedes guna meraih tingkatan satria mengharuskan dia untuk menghalalkan segala cara, dengan melakukan berbagai macam kudeta baik di bidang politik, kekuasaan sampai pada wilayah kebudayaan tak ia lewatkan begitu saja. Hingga akhirnya belakangan ini sering kita dengar konflik antara 'guru-murid' tak hanya di dalam kelas saja, namun sudah memasuki lintas negara, baik itu permasalahan lagu rasa sayange, kesenian Reog, dan masih banyak hal lagi yang mendadak menghangat dalam perbincangan orang-orang dari kalangan guru-murid itu sendiri. Berdasarkan fakta yang berkembang di masyarakat, bahwa ada semacam upaya pengakuan hak atas kebudayaan yang ada di Indonesia dan permasalahan ini ternyata tidak berawal dari masalah pengakuan rasa sayange dan reog semata, melainkan sudah terjadi sejak beberapa tahun belakang ini.
Mencermati permasalahan seperti ini tentunya bukanlah suatu hal yang mudah apalagi jika argumen kebudayaan dari kedua negara dijadikan sebagai pembenaran kepentingan masing-masing, salah-salah kita hanya akan terjebak pada klise ayam dan telur saja. Mungkin dari kedua negara perlu instropeksi kembali mengenai nilai-nilai kebudayaan yang dalam

Yogyakarta, 12 Desember 2007

Rabu, 16 Januari 2008


Pengarang itu bukan wartawan, tetapi guru. Tugasnya bukan melukiskan dunia seperti apa adanya, tetapi melukiskan dunia seperti seharusnya ada.


(Mencken)


Sastra bukan potret kehidupan. Pengarang harus menyeleksi potret-potret kehidupan itu lantas menyusunnya dalam suatu kesatuan yang organis untuk menyatakan sesuatu arti. Dengan susunan data yang baru tadi terjadi sesuatu yang baru. Dan sesuatu yang baru tadi harus menyarankan sesuatu arti. Dalam cerpen pengarang dituntut suatu sikap hati-hati dan penuh keterampilan dalam menyeleksi detail-detail kehidupan dan menyusunnya dalam arti tertentu.


(N.N)


Teori sastra tidak perlu? Bacalah teknik menulis dan setelah selesai lantas lupakanlah. Pelajarilah prinsip-prinsip konstruksi sebuah cerpen yang baik, nilai kesinambungan sebuah karya, point of view yang konsisten, perhatikan detail-detail peristiwa, tulislah dialog-dialog secara cermat. Lantas semua itu benamkan dalam bawah sadarmu, dan biarkanlah hal-hal itu mengontrol dirimu waktu menulis.
Kerja menulis adalah kerja yang paling keras di dunia. Menulis benar-benar menghantui jiwa. Setelah kita bekerja satu atau dua jam sehari, sebagian dari kemanusiaan jiwa kita seperti musnah. Tidak ada pengalaman kehidupan dan pengetahuan kesustraan yang sia-sia bagi seorang penulis.


(Ellen Glasgow)


Dalam cerpen karakter tak perlu berkembang seperti di dalam novel. Bahkan boleh ada karakter yang tidak pernah berbicara sepatah pun sepanjang cerita. Tidak perlu ada identifikasi. Pembaca telah cukup memahami tentang seorang tokoh wanita dalam cerpen dengan hanya mengetahui bentuk tangannya.


(H.E. Bates)


Sastra adalah evaluasi pengalaman seseorang. Tidak ada seorang sastrawan pun yang ingin membuktikan sesuatu.


(Oscar Wilde)


Tiap penulis memang harus menyadari sikapnya dalam karya-karyanya, namun harus dibedakan antara pemecahan persoalan dan penempatan yang tepat sebuah persoalan. Dalam karya sebesar Anna Karenina tak ada satu persoalan pun yang dipecahkan. Tetapi toh memuaskan lantaran semua persoalan disajikan pada tempatnya secara tepat. Adalah tugas hakim untuk bertanya secara tepat, dan tiap orang harus memutuskan menurut selera pribadinya.


(Anton Chekov)


Orang menulis tanpa tujuan-tujuan moral. Sastrawan tak boleh memvonis siapa yang jahat dan siapa yang baik. Tugas penulis memang membuat dunia ini supaya lebih baik, tetapi keadilan dan kebenaran tergantung waktu dan tempat.


(Samuel Jackson)


Bacalah sastra, bagi mereka yang suka. Dan yang tidak suka tidak usah membaca. Tak mungkin orang menjejalkan makanan pada mulut bayi. Sastra yang saya tulis tak ada maksud moral atau immoral. Tetapi melihat efeknya jelas cenderung pada moral. Moral dan immoral tak bisa hidup dalam satu atap. Atau yang satu atau yang lain.


(Swinburne)


Sastra membangkitkan perasaan haru, perasaan patriotis, perasaan takut pada diri kita. Apakah salah jika ia juga membangkitkan seksualitas kita? Tetapi harus diingat bahwa sastra mempunyai banyak tujuan, sedang pornografi hanya satu tujuan saja: membangkitkan birahi.


(Stephen Marcus)


Dalam cerpen tak boleh ada satu kata pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam komposisi keseluruhan.


(Edgar Allan Poe)


Masalah cerpen adalah masalah pemilihan--seleksi fakta dan kejadian.


(E.Bowen)


Cerpen seperti balapan kuda: start dan finish yang menentukan.


(Ellery Sedgewick)


Sebuah cerpen tak perlu ada pembuka dan penutup—gambarkan senjata tergantung di dinding, suatu ketika senjata itu akan diambil.


(Anton Chekov)


Tulis apa saja tentang dirimu dan dunia sekelilingmu


( SM Ardan )